Sabtu, 3 September 2011


Kereta “Pakuan Ekspres” terus melaju membawa ratusan tubuh bernyawa menuju Jakarta. Pagi itu. Saya memutar mata melihat bangku kosong. Uph! Ada! Dua lagi. Saya bersyukur. Saya gerakkan tubuh segera. Tapi, jiaaaaaahhhhh… keduluan! Dua tubuh perempuan berkerudungbergerak ke arah yang sama. Lebih cepat. Terpaksa saya harus gigit jari.
Berdiri! Saya hanya bisa berpegangan pada tali yang terjulur di atas kepala. Tak apa. Tapi, wow!!! Telinga saya seolah bergerak menangkap suara-suara lirih dua perempuan berkerudung yang tadi “merebut” kursi saya. Saya bahkan tersenyum dalam hati saat menangkap percakapan mereka. Lucu dan asyik.
“Benar! Aku tak bisa melupakan dia. Setiap saat dia datang dalam mimpiku. Wajahnya, perawakannya, candanya. Semuanya. Aku tidak tahu kenapa Tuhan tidak pernah menyatukan aku dengannya. Tuhan malah menyatukan aku dengan yang lain….”
Suara perempuan berkerudung putih. Wajahnya sendu. Seperti menampakkan beban yang maha berat. Uniknya, temannya yang berkerudung biru malah terkekeh habis. Cekikikan. Tangannya menutupi mulutnya yang takut terbuka.
“Kamu kira aku bercanda?!”
Perempuan yang berkerudung putih marah. Suaranya mengeras. Ia tidak senang sepertinya saat suara hatinya ditertawakan orang lain, bahkan mungkin sahabatnya sendiri yang berkerudung biru itu. Ia seolah tak mau dirinya menjadi bahan olok-olokan dari masalah yang tengah dihadapi.
“Maaf… Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Benar, aku sama sekali tidak ingin mentertawakanmu. Sekali lagi aku minta maaf.”
Perempuan berkerudung biru merasa bersalah. Senyumannya yang terasa sedikit nyinyir hanyalah karena ia mungkin memang tak kuasa menahan tawa di hatinya mendengar curahan hati temannya. Lucu. Wong sudah menikah kok malah merindukan yang lain.
“Mungkin dari hatimu yang paling dalam sebenarnya kau tidak terlalu mencintai suamimu. Suamimu mungkin hanya sekadar pelarian agar pertanggungjawabanmu di hadapan Tuhan, orang tua, saudara menjadi terpenuhi?”
“Oh, tidak! Tidak! ” potong perempuan berkerudung putih.
” Aku sangat amat mencintainya. Dia seorang suami yang penuh pengertian bagiku. Ayah yang baik bagi anakku. Pria yang tulus bagi keluargaku. Dalam bayanganku dia adalah suami yang kerap kuimpikan selama ini.”
“Lalu, kenapa kamu begitu susah untuk melupakan kekasihmu yang dulu itu?”
“Itulah… Kenapa aku ingin cerita kepadamu. Karena aku butuh nasihatmu. Terus-terang aku tersiksa dengan hal ini.”
Perempuan berkerudung biru terdiam. Hatinya tercenung. Ia seperti tidak menyangka temannya yang terlihat begitu bahagia dengan suaminya itu ternyata menyimpan derita. Derita masa lalu yang tidak mampu ia kubur. Derita tentang cinta.
“Aku merasa berdosa terhadap semuanya. Aku seolah orang yang paling munafik di dunia ini. Aku telah menyimpan dua orang terkasih dalam satu hati.”
Perempuan berkerudung biru melihat rona merah di wajah temannya. Sembab. Seolah menahan diri dari tangis. Perempuan berkerudung biru itu ingin berkata banyak, tapi ia sendiri bingung apa yang mesti diungkapkannya. Sebab, ini masalah hati. Sebab, ini masalah perasaan. Sebab, ini masalah cinta.
“Hilangkan pikiran tentang kebaikannya. Munculkan keburukan-keburukannya. Moga ini dapat menghilangkan mantan kekasihmu itu dari hatimu….”
Perempuan berkerudung biru terbebas dari beban. Ia merasa senang telah memberikan jalan keluar yang -menurutnya- terbaik. Namun, ucapan selanjutnya dari perempuan berkerudung putih membuat perempuan berkerudung biru seolah tersedak.
“Itu semua sudah aku lakukan. Aku gagal…. Aku tetap tak bisa melupakannya. Ia seolah sebongkah es yang mengendap dalam hatiku.”
Diam. Senja di mata. Gambir. Kereta berhenti sesaat. Dua perempuan berkerudung itu keluar dan turun dari “Pakuan Ekspres”.
Saya tertawa ngakak dalam hati. Kok bisa ya? Ah, bisa dong! Segala kemungkinan bisa saja terjadi dalam hidup. Tapi, mendengar percakapan dua perempuan itu saya teringat kepada pernyataan seorang teman.
Kata teman saya itu, kesalahan terbesar yang sering dialami banyak perempuan dalam hidupnya adalah memutuskan hubungan cintanya pada lelaki yang sesungguhnya merupakan cinta sejatinya. Padahal, pemutusan itu kerap terjadi karena emosi sesaat. Namun, akibatnya perempuan itu gagal melupakan lelaki yang paling dicintainya itu seumur hidupnya. Wow!!!* * *